Thursday, June 2, 2011

Tahiyat akhir pada 2 rakaat

Adanya suatu pendapat disuatu golongan yang menyatakan bahwa duduk tahiyat akhir yang padanya dua rakaat itu adalah iftirasy, yaitu seperti duduk diantara dua sujud dan duduk di tahiyat awal. hal ini berlaku di setiap shalat yang terdiri dari dua rakaat, misalnya shalat shubuh, shalat jum’at dan shalat-shalat sunnat yang berjumlah dua rakaat. Pendapat mereka diperkuat oleh hadits-hadits sebagai berikut:
Sepengetahuan kami pendapat seperti yang saudara kemukakan itu beralasan dengan beberapa keterangan sebagai berikut;
إِنَّ مِنْ سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تُضْجِعَ رِجْلَكَ الْيُسْرَى وَتَنْصِبَ الْيُمْنَى. رواه النسائي
“Sesungguhnya dari sunnah salat itu engkau menghamparkan kaki kirimu dan menegakkan kaki kananmu”. Hr.An-Nasai I:235

مِنْ سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَمَ الْيُمْنَى وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ وَالْجُلُوسُ عَلَى الْيُسْرَى. رواه النسائي
“Dari sunah salat itu adalah engkau menegakkan kaki kananmu, menghadapkan jari-jarinya ke kiblat, dan duduk di atas kaki kiri”. Hr.An-Nasai I:236
فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ. رواه ابو داود
”Maka apabila kamu duduk dipertengahan salat, hendaklah kamu tumakninah, dan hamparkanlah kaki kirimu, kemudian bacalah tasyahhud”. Hr.Abu Daud I:198
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى. رواه البخاري
“Apabila duduk pada raka’at kedua (untuk tasuahhud awwal) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya”. Hr. Al-Bukhari I:368
Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan, bahwa bila salat yang dilakukan hanya dua raka’at, seperti salat jum’at, salat subuh, dan lainnya, beliau duduk iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri yang dihamparkan dan telapak kaki kanannya ditegakkan), yaitu seperti duduk antara dua sujud dan tasyahhud awwal dalam salat tiga raka’at atau empat raka’at.
Menurut kami;
Hadis kesatu riwayat An-Nasai dimuat pada Baabu Kaaifal Juluus Littasyahhudil Awwal  dan hadis kedua pada Baabul Istiqbaali Biathraafi Ashaabi’il Qadamil Qiblata ‘Indal Qu’uudi Littasyahhud. Kedua hadis dari Ibnu Umar itu menerangkan cara duduk setiap kali duduk dalam salat. Hadis yang semakna diriwiyatkan pula oleh Malik dari Ibnu Umar. Sedangkan pada bab selanjutnya An-nasai memuat Baabu Shifatil juluusi fir Rak’atil latii  Yaqdlii fiihas Shalaatu hadis dari Abu Humed dengan redaksi sbb.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ. النسائي
Nabi saw. apabila beliau duduk pada dua raka’at yang padanya  berakhir salat beliau mengakhirkan kaki kirinya dan duduk pada sisi paha/pantat kirinya (tawarruk) kemudian mengucapkan salam. Hr. An-Nasai II:31
Dan dalam At-Tirmidzi masih dari Abu Humed dengan lapal
حَتَّى كَانَتْ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا صَلَاتُهُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ. رواه الترمذي
Hingga apabila beliau duduk pada raka’at yang padanya  berakhir salatnya beliau mengakhirkan kaki kirinya dan duduk pada sisi paha/panta kirinya (tawarruk) kemudian mengucapkan salam. Hr. At-Tirmidzi II:107
Begitupun dalam musnad Ahmad dengan lapal
حَتَّى إِذَا كَانَتْ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ. أحمد
Hingga apabila beliau duduk pada raka’at yang padanya  berakhir salat beliau mengakhirkan kaki kirinya dan duduk pada sisi paha/pantat kirinya (tawarruk) kemudian mengucapkan salam. Hr.Ahmad, Al-Musnad IX:152
Hadis Abu Daud dan Al-Bukhari menjelaskan cara duduk pada tayahhud awwal. Hadis yang semakna diriwiyatkan pula oleh At-Tirmidzi dari Aisyah.
Sedangkan dalam riwayat Al- Bukhari dari Abu Humed itu diakhiri dengan
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ. رواه البخاري
Dan apabila duduk pada raka’at akhir beliau mengedepankan kaki kirinya dan menancapkan yang lain lalu duduk pada tempat duduknya. Hr. Al-bukhari, Fathul Bari II:567
Dan dalam riwayat lain dengan lapal sebagai berikut :
إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا الصَّلاَةُ ، أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى ، وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ، ثُمَّ سَلَّمَ. رواه ابن خزيمة
Apabila rakaat yang padanya akan selesai salat, beliau mengedepankan kaki kiri dan menancapkan kaki kanannya. Lalu duduk pada sebelahnya dengan cara tawaruk. H.r. Ibnu Khuzaimah
إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلأَخِيرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى ، وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ. . رواه ابن خزيمة
Apabila duduk pada rakaat akhir, beliau mengedepankan kaki kiri dan menancapkan kaki kanannya. Lalu duduk pada tempat duduknya. H.r. Ibnu Khuzaimah
حَتَّى إِذَا كَانَتِ الرَّْكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى رِجْلِهِ مُتَوَرِّكًا ، ثُمَّ سَلَّمَ. رواه ابن حبان
Sehingga apabila rakaat yang padanya akan selesai salat, beliau mengedepankan kaki kiri dan lalu duduk pada kakinya pada sebelahnya dengan cara tawaruk lalu salam.. H.r. Ibnu Khuzaimah
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَجَلَسَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ. رواه ابن حبان
Apabila duduk pada rakaat akhir, beliau mengedepankan kaki kiri Lalu duduk pada tempat duduknya
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةِ الَّتِي تَكُونُ خَاتِمَةَ الصَّلاَةِ ، رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا ، وَأَخَّرَ رِجْلَهُ ، وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ صلى الله عليه وسلم. رواه ابن حبان
حَتَّى إِذَا كَانَتْ قَعْدَةَ السَّجْدَةِ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ ، أخر رجله اليسرى ، وقعد متوركا على شقه الأيسر. رواه ابن حبان
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ. رواه عبد الحميد- فتح الباري
Dengan demikian, berdasar pada keumuman lapal rak’atil aakhirah dan lapal lain pada riwayat Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai , Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Abdul Humed bahwa duduk tasyahhud pada salat jum’at, salat subuh, dan lainnya, yang berjumlah dua raka’at adalah tawarruk (mengedepankan kaki sebelah kiri dan diletakkan di bawah tengah-tengah betis kanan lalu menancapkan kaki kanan dengan jari-jari diusahakan nmenghadap kiblat dan duduk di tempat duduknya).
Imam Syafi’i rahimahulllah mengatakan,”Menurut sunnah semua duduk dalam salat adalah iftirasy, kecuali duduk yang diiktuti/diakhiri salam (adalah tawarruk). Syarah Muslim An-Nawawi IV:21
Pertanyaan:
Dalam sifat shalat nabi Saw oleh albani ada keterangan “maka apabila shalat dua rakaat seperti subuh, nabi saw duduk dengan menghamparkan (kakinya) sebagaimana beliau duduk antara dua sujud.” Bolehkah kita begitu?
Jawaban:
1. Sesudah kata-kata “menghamparkan” itu albaani beri noot bahwa cara itu diriwayatkan oleh imam nasai dengan sanad yang shahih (hal 167)
2. Yang dalam kitab nasai saya dapatkan begini : kata Waa-il ibn Hujr:
“..Dan apabila duduk Nabi saw baringkan kaki kirinya dan mencacakkan kaki kanannya (nasaai, 3:35)
Dalam riwayat ini adalah duduk attahiyat, menurut sambungan ceritanya ada riwayat lain dari wail juga
“bahwa ia melihat Nabi saw duduk dalam shalat yaitu dengan menghamparkan kaki kirinya. Sambungan dari riwayat inijuga menunjukan bahwa duduk itu adalah “duduk tasyahud” (attahiyat), begitu juga ada riwayat dari jalan Ibnu umar.
3. dalam riwayat-riwayat, baik riwayat nasaai atau yang lainnya, tidak ada kata-kata “seperti subuh” dan tidak ada juga kata-kata “duduk antara dua sujud”, sebagaimana dalam keterangan yang ditanyakan di atas. Maka nyatalah itu ‘omongan’ albani sebagai pendapatnya.
4. Kalau dua riwayat tersebut dijadikan alasan untuk pendapat albaani itu, tidak kena, karena dua riwayat itu berhubung dengan duduk attahiyat awal, sedang salat subuh tidak mempunyai attahiyat awal, begitu juga utnuk duduk antara dua sujud”
5. Mungkin yang dijadikan alasan oleh albaani adalah ucapan umar yaitu:
“sebagian dari ketentuan shalat, bahwa engkau mencacakan kaki kanan dan menghadapkan dia dengan jari-jarinya ke qiblat dan duduk atas kaki kiri”(nasaai 2:236)
“duduk atas kaki kiri”itu tentulah dengan “menghamparkannya”
Ringkasnya : kaki kanan dicacakkan dan kaki krir dihamparkan
Dari omongan Umar ini, kalau difahami secara umum. Adalah duduk itu untuk rakaat 1, 2, 3, 4. semua sama, tapi untuk rakaat keempat (akhir) ada keterangan tersendiri dengan cara yang tertenu yaitu yang seperti biasa kita lakukan.
Menurut faham ini pula karena shalat dua rakaat, maka duduknya pada rakaat kedua itu harus seprti yang dikatakan Umar. Pendapat atau faham ini tidak dapat diterima, karena ada riwayat dari Abi Humaid As-saaidi ia berkata
“Adalah Nabi saw apabila berada dalam dua rakat yang salat selesai padanya nabi saw akhornya (keluarkan) kaki krinya dan duduk miring atas punggungya (HR an-Nasai3:34)
“dua rakaat” yang selesai padanya “maksudnya rakaat terakhir”. Lebih tegas lagi Abu Humaid berkata :
“Dan apabila Nabi saw duduk di rakaat akhir Nabi majukan kaki kirinya dan cacakkan kaki kanannya dan duduk atas punggungya( bukhari, 2:208)
Perkataan Abu Humaid “rakaat terakhir” itu asalnya meriwayatkan shalat yang 4 rakaat, rakat yang akhir adalah rakaat keempat. Tapi lafazhnya umum. Yakni Abu Humaid tidak menyebut rakaat keberapa, maka kita pakai secara umum yaitu tiap-tiap rakaat terakhir dan baik pada shalat sunnat maupun shalat wajib.
Maka rakaat yang akhir dari shalat shubuh dan shalat-shalat lain yang dua rakaat adalah rakaat yang keduanya itu dikatakan “rakaat akhir” maka duduknya adalah seperti yang diriwayatkan Abu Humaid (tidak ada anggapan berselisih/rajih), bukan seperti pendapat albaani.

Jadi, kesimpulannya, duduk tahiyat akhir di dalam 2 rakaat sama-sama memiliki dalil yang kuat, baik yang duduk iftirasy atau yang duduk tawarruk. sekarang tinggal tergantung prinsip dan keyakinan masing-masing saja. Yang terpenting perbedaan ini jangan dijadikan suatu masalah yang dibesar-besarkan. Biar bagaimanapun umat Islam tetap harus bersatu.
Allahuakbar..

No comments:

Post a Comment